Laman

MENCOBA BERBAGI SEGALA HAL TENTANG SASTRA MESKIPUN LEWAT SEUNTAI KATA BAHKAN SETUMPUK BAHASA HINGGA BERMAKNA ATAUPUN TIDAK SAMA SEKALI

sebuah catatan untuk wanitaku juga aku

ini tentang aku, juga beberapa wanita yang mengisi hidupku. aku juga memang wanita, tapi tak ada salahnya aku mengagumi mereka. aku mulai dari diriku. aku hanyalah wanita yang punya banyak mimpi dan satu per satu mimpi itu pun menghampiriku, terkadang ku menangis ataupun tersenyum. "ah..itu biasa." masa kecilku penuh ejekan karena aku penyakitan. di kepalaku tak pernah diizinkan tumbuh rambut, karena darah selalu mengalir di kepalaku. terkadang ku diikat saat menjelang tidur karena tanganku tak mampu menahan rasa gatal di kepalaku. saat anak kecil seumurku bermain di lapang, aku hanya menatap mereka lewat buramnya kaca rumahku, kunaiki lemari ingin aku bermain dengan mereka. masa remaja datang aku masih penuh dengan ejekan bukan karena kepalaku..karena penyakitku entah kemana. mereka bilang aku hanyalah nak miskin, mereka bilang tak mungkin bisa jadi apa-apa, "paling tukang masak ejek mereka." tapi aku bilang, "aku ingin jadi presiden." dan mereka pun terbahak-bahak. "mana mungkin tukang masak jadi presiden." gunjing mereka. "ah biarlah." kataku aku pun tetap melangkah tak terbesit pun malu menghampiriku. aku tumbuh dewasa dengan penuh harapan, "emh, ternyata hidup memang bising." tapi biarlah ku jadi tuli biarlah ku jadi bisu terhadap kebisingan hidup. saat usiaku menjelang dewasa sekali..sungguh sangat bising hidup ini. "horee... aku lulus kuliah." orang tuaku hebat ya, berkat mereka aku bisa merasakan bergaul bersama-sama orang-orang yang banyak gaya juga banyak rasa. kebisingan itu kembali menyapaku, mereka bilang aku ketuaan "kapan nikah?" itu kata mereka.aku memang tak sekuat karang di lautan, aku pun sering tersungkur di atas sajadahku. saat orang-orang terbuai malam..aku pun hanya mampu mengharap pada penciptaku juga pencipta mereka, "huh...aku lelah." waktu selalu berlalu, hingga kini aku tak lagi sendiri ada suami terbaikku, "meski kadang kami membuat suasana yang beda di kamar tapi biarlah, biar kupeluk saja dia." aku kini, berusaha menjadi orang yang kata mereka "orang beneran." sejak kuliah aku sudah mulai mengajar anak tk, aku sih berharap gaji pertama aku nanti setidaknya bisa bantu bayar uang kuliah, "eh boro-boro, ternyata ga nyampe seperempat dari uang kuliah juga." aku cuma mampu ketawa sendiri," bukan berarti aku tak bersyukur..tapi kebutuhan yang menyeretku seperti itu. sampai sekarang aku masih mengajar, tapi di MI. MI itu sekolah yang sederajat dengan SD. aku juga lulusan MI lho, hanya muatan agamanya lebih banyak juga penerapan akhlaknya paling dominan. dulu orang-orang bilang kalau MI itu adalah sekolah orang-orang miskin, yang anak-anaknya itu kucel-kucel, "itu memang benar," teman-temanku dulu memang seperti itu, baju seragam sekolah putih yang menguning juga ingus-ingus kering yang menempel di pipi, "emh, bau amis," bahkan ada juga yang telinganya mengucurkan tintanya. tapi menurutku, MI sekarang beda,aku bangga ngajar di sana. "sudahlah, itu tentang karirku, sekarang masih tentangku, ternyata bisikan orang-orang masih belum selesai dan mereka pun bertanya, "kapan punya anak," emhhh, cape deh, kapan mereka berhenti. usia pernikahanku memang sudah menginjak 1 tahun lebih, tapi belum juga perutku membesar, "maksudku hamil,"
Tapi, biar ku slalu jadi tuli atas kebisingan hidup, entah lah aku merasa terasing di tengah-tengah keakraban hidup. namun, aku percaya bahwa hidup adalah rangkaian kehendakNYA yang satu persatu terjadi melalui waktu yang tepat. Untuk itu, kucoba tepis semua keasaanku. Selain itu, banyak waktu yang memaksaku untuk tahu lebih banyak kecurangan yang menghiasi perjalanan kehidupan. Salah satunya dari wanita yang tak sengaja ku temui karena profesiku sebagai seorang wartawan. Seorang wanita yang kuanggap tangguh di sela-sela usianya yang tak muda lagi. Keikutsertaanku dengannya ke banyak tempat juga berbagai masalah, membuat aku banyak mengenal kecurangan yang dilakukan para penguasa hukum. Aku merasa miris saat melihat seorang kakek atau nenek berada di balik jeruji besi menunggu palu hakim atas keputusannya. Wanitaku ini, mengenalkanku juga bahwa kejujuran sudah diperjual belikan, "Entahlah, dengan nasib si miskin," aku hanya bisa menghela nafas. Yang jelas dunia hukum merupakan lingkaran labirin, para pelalu kecurangan bertopeng atas nama hukum dan keadilan juga diselimuti para dasi yang menggantung dengan rapi. "Berjuanglah...wanitaku!"

this story dedicated for my husband; Yudi Adityo Nugroho, for the best women's my mom and my strong women, Maria Elskaliliasari.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting